Mengolah Imajinasi dari Berita ke Cerita
Dalam bahasa Indonesia, antara berita dan cerita hanya beda-beda tipis. Entah kebetulan entah tidak, tapi perbedaan makna (semantis) dan perbedaan bunyi (fonologis) kedua kata itu memang tipis bedanya. kalau ada teman yang kembali dari kampung, maka teman sewajarnya akan bertanya “Bagaimana ceritanya di kampung serang? baik-baik saja bukan?”. Walaupun yang di tanyakan cerita dari kampung, sebenarnya yang di maksud si penanya adalah berita atau kabar dari kampung. Jadi, kata berita dan cerita memang berdekatan, cuma dibedakan oleh hurup b dan c. 😀
Sebenarnya, terdapat perbedaan yang mencolok di antara kedua kata itu. Perbedaan itu ialah kalau berita cepat basi, sedangkan cerita abadi. Topik pembicaraan kali ini memang sengaja mengungkapkan hal ini, karena dalam dunia jurnalisme mutakhir memang susah di bedakan, mana yang lebih mencengkam dan mengharuskan antara berita tentang bom di Bali, atau sebuah cerpen yang bertemakan cinta seorang gadis buta?
Kemajuan dibidang jurnalisme mutakhir tampaknya lebih mendekatkan diri pada aspek-aspek sastra, sehingga muncul istilah jurnalistik sastra. Mungkin selama ini orang mulai bosan membaca berita-berita yang di tulis dengan pola baku (tetap) sedangkan ynag berubah hanya isinya, dan umurnya pun cuma sehari. Oleh sebab itu ada usaha para jurnalis untuk menyuguhkan berita yang dikemas dengan pola (alur) sastra, diantara dengan gaya bahasa bercerita (narasi), punya tokoh, latar dan konflik juga. Pokoknya, peristiwa yang di ceritakan para jurnalis menandingi karya sastra naratif seperti cerpen atau novel. Dan, para jurnalis pun berharap dengan demikian beritanya yang dikemas dengan cara sastra itu, disamping enak di baca, juga tidak cepat basi.
Dimanakah letak ke unggulan cerpen, kalau karya jurnalis sudah mulai mencuri jalus sastra?. Mwnjawab pertanyaan ini, kedua bentuk wacana itu harus kita kembalikan ke habitat masing-masing. Bahwa berita berangkat dari hanya fakta dan realita, sedangkan karya sastra berangkat fakta/realita yang kemudian diolah oleh mesin yang dinamakan imajinasi. Nah, disinilah keistimewaan cerita atau cerita pendek yang merupakan hasil plahan imajinasi pengarang. Tidaklah mungkin sebuah berita digarap melalui imajinasi wartawan, kecuali kalau sang wartawan memang bernaksud menulis cerpen.
Kekuatan imajinasi merupakan modal dasar seorang penulis cerita, dalam hal ini cerpen dan novel. Melalui imajinasilah cerita jadi menarik dan berkesan bagi pembaca. Melalui imajinasi, detail cerita dapat di lukiskan hingga peristiwa yang diceritakan menjadi lebih hidup. Ambilah contoh, tentang sesosok tokoh yang diceritakan. Dalam wacana berita (jurnalistik), sosok tokoh harus di gambarkan sesuai fakta, jika dilebihkan dari itu, maka berita akan tercemar oleh opini dan dianggap tidak valid. Sedangkan dalam cerita, sosok tokoh dapat digambarkan dengan se detail-detailnya menurut rekayasa imajinasi pengarang.
Kalimat seperti ini tidak mungkin ditulis dalam sebuah berita, meski berita itu telah diolah dengan gaya news feature, gaya bertutur untuk menarik pembaca. Karena, sebutir pasir yang haya “agaknya” bukan fakta, melainkan detail dari sebuah deskripsi seorang tokoh dalam sebuah cerita melalui “fakta imajinasi”. Oleh sebab itu, bagaimanapun cerpen harus dapat eksis sendiri di habitat sastra, tanpa harus tenggelam dalam lautan berita yang sebenarnya telah banyak menyumbangkan inspirasi bagi pengarang cerita.
Jadi, bolehlah dikatakan bahwa laporan jurnalistik mungkin dapat abadi, enak dibaca dalam waktu yang lama, namun penulis cerpen, harus dapat mengolah imajinasinya untuk memberikan sesuatu yang betul-betul unik, yang tak mungkin ada dalam wacana lain. Karena, kelanggengan karya sastra adalah ke tidak duaannya itu. Sementara, laporan jurnalistik, dimana-mana bisa sama yang berbeda cuma waktu atau latar peristiwanya.
Bikin Event Organizer Yuk!
Kamu yang ikut organisasi apa pun, pasti akrab dengan istilah event organizer. Yakni, organisasi atau lembaga yang khusus yang mengelola kegiatan-kegiatan. Klik Disini.